Monday, January 27, 2014

Idealisme Arsitektur dan Kenyataannya di Indonesia

Oleh : F. Silaban

Menurut hemat saya, idealisme arsitektur adalah pendirian atau sikap hidup yang secara terus menerus memperjuangkan kemurnian arsitektur ditilik dari sudut kepentingan rakyat dan negara Indonesia dalam arti kata yang seluas-luasnya.

Bila saya sebutkan kepentingan rakyat, saya teringat kepada perumahan rakyat, dari tipe yang paling sederhana sampai tipe yang menengah dan tipe yang sudah termasuk mewah.

Bila saya sebutkan kepentingan negara Indonesia, saya teringat kepada gedung-gedung besar yang dibutuhkan oleh Pemerintah dan badan-badan swasta yang bermodal. Saya maksudkan gedung-gedung kantor dalam berbagai ukuran dan bentuk, gedung-gedung Perguruan Tinggi, gedung-gedung Bank, Museum, Rumah Sakit dan sebagainya.

Rumah atau gedung adalah perabot hidup manusia, perabot untuk melindunginya terhadap hujan, panas matahari, angin kencang di negeri-negeri tropis seperti Indonesia dan terhadap salju es dan angin kencang di negeri-negeri beriklim temperate (lunak).

Dalam tulisan ini saya hanya membahas hal-hal yang dialami di negeri-negeri tropis.

 

 

Pengaruh Iklim

Bila ada hujan, manusia membutuhkan sebuah atap yang sungguh-sungguh bebas dari kebocoran agar dia tidak menjadi basah dan sakit.

Bila panas matahari mengganggu dia kembali membutuhkan sebuah atap yang sungguh-sungguh menciptakan keteduhan baginya. Bila angin meniup kencang manusia itu membutuhkan dinding yang melindunginya terhadap tiupan angin kencang itu (ingat halte-halte bus atau tram di negeri-negeri beriklim temperate atau lunak yang harus memakai dinding-dinding kaca, kecuali di muka).

Karena di negeri kita angin kencang agak jarang terjadi, maka yang paling esensial dalam rumah atau gedung kita ialah atap. Karena atap harus dipikul dan beratnya harus dialihkan ke tanah, maka essence tiang (kolom) dan fondasi pun menjadi satu dengan essence atap.

Kemudian harus kita lapisi tanah yang sudah diberikan atap itu dengan suatu lapisan yang keras, sehingga selain dapat dicuci dan dipel, juga agar higienis.

Jadi yang kita mutlak perlukan ialah atap, tiang (kolom), fondasi, dan lantai.

Karena angin kencang agak jarang terjadi, maka dinding lebih bersifat menghalangi pandangan mata, agar tercipta privasi. Sebetulnya kegiatan seperti makan, membaca-baca, bicara-bicara, menerima tamu, memasak dan sebagainya tidak mutlak memerlukan privasi. Mandi, membuang air besar dan kecil memang mutlak memerlukanprivasi.

Dengan demikian lebih banyak kegiatan manusia yang tidak mutlak memerlukan privasi daripada yang mutlak memerlukannya. Di Jepang diinsyafi betul, bahwa dinding itu tidak bersifat primer.

Dinding-dinding, pintu-pintu, jendela-jendela dibuat dari kertas ditempel kepada rangka kayu yang serba ringan dan, untuk menghindari beban momen, pintu dan jendela dilengkapi dengan sistem sorong. Tidaklah mengherankan, bahwa orang Belanda dahulu (sebelum Perang Dunia II) banyak yang membuat rumah yang kamar-kamarnya serba besar ukurannya dan tinggi plafonnya. Di samping itu mereka membuat emper, kalau tidak sekeliling rumah, paling sedikit satu emper muka yang besar (voorgalery) dan satu emper belakang yang tidak kalah besar pula (achtergalery).

Rupanya orang-orang Belanda dahulu yang berasal dari negeri dingin dan datang ke negeri tropis seperti Indonesia, cepat mengerti, betapa pentingnya emper-emper, voor dan achtergalery serta besarnya ukuran-ukuran kamar dan tingginya plafon. Bahkan mereka menganggap itu semua sebagai hal yang fundamental bagi rumah-rumah di negeri tropis.

Ingatlah rumah-rumah para Residen, Asisten Residen, Bupati dan pendoponya, rumah Wedana dan pendoponya, rumah-rumah para Administrateur di perkebunan-perkebunan besar pada zaman dahulu, yang sisa-sisanya masih dapat kita kagumi dewasa ini. Tentu itu semua adalah hasil observasi mereka terhadap rumah-rumah penduduk asli. Yang kecil dan yang besar sama-sama menggunakan prinsip yang sama: mengusahakanterbentuknya volume udara yang sebesar mungkin dalam rumah atau gedung yang tidak dapat secara langsung dipanasi sinar-matahari.       

Bilamana volume satu kamar kecil, misalnya 3 x 3 x 3 m3, maka kita cepat merasa terlalu panas, karena panas badan kita turut menambah kepanasan dalam kamar yang relatif kecil ukuran-ukurannya itu. Bilamana volume satu kamar besar (misalnya 5 x 5 x 4 m3), maka tidaklah terlalu cepat udara dalam kamar itu bertambah panas karena panasnya badan kita. Apalagi kalau kamar besar itu terbuka terhadap udara bebas yang tak terhingga volumenya. Bila kita amati ladang-ladang atau sawah-sawah di daerah pedalaman, maka hampir semua ladang diperlengkapi dengan sebuah saung yang terbuat dari tiang-tiang konstruksi atap dari bambu, sedang atapnya dibuat dari rumbia atau daun alang-alang. Tidak ada perkerasan lantai dan dinding.
Di saung itulah sang petani sewaktu-waktu beristirahat, kalau lelah karena pekerjaan memacul dan kepanasan matahari. Di situ pula ia menikmati makan siangnya, sambil melepaskan lelah. Teduh dan ada angin sepoi-sepoi.

Emper Terbuka

Bila kita menumpang mobil dari kota satu sampai kota lain melewati daerah pertanian, maka di pinggir jalan akan kita lihat rumah-rumah rakyat yang hampir semuanya memiliki emper depan menghadap jalan.
Kita akan lihat bahwa di emper depan itulah, penghuni rumah itu duduk-duduk sepanjang siang hari. Baru sesudah gelap mereka masuk ke bagian dalam rumah yang berdinding. ltulah sebabnya saya berani berkata, rumah-rumah tanpa emper terbuka yang cukup besar (jadi bukan sekedar emper sempit dengan tambahan dakoverstek yang hanya bersifat platonis) bukanlah rumah Indonesia dalam arti yang sesungguhnya. lni semua merupakan pertanda bagi saya bahwa bagian rumah yang terbukalah yang paling menyenangkan untuk duduk-duduk sambil mengobrol melepaskan lelah.

Yang penting ialah, harus dihindarkan sinar matahari dapat mencapai setitik pun dari lantai, bukan dengan mendirikan dinding, akan tetapi dengan menahan sinar matahari itu dengan membuat atap yang demikian melebar ke luar garis dinding, sehingga dinding pun tidak disentuh sinar matahari.

lnilah sebabnya, bahwa saya pribadi selalu membuat solar shadowgraph untuk daerah di mana gedung itu harus dibangun terlebih dahulu, sebelum mulai memikirkan perencanaan gedung yang bersangkutan.
Tetapi karena adanya noorderkeerkring (21 Juni) dan zuiderkeerkring (21 Desember), maka solar shadowgraph itu berlainan untuk tiap-tiap tempat.

Karena pulau Jawa hampir sejajar letaknya terhadap kHatulistiwa, maka untuk seluruh Jawa dapat digunakan satu solar shadowgraph. Untuk daerah-daerah yang berdekatan dengan khatulistiwa satu solar shadowgraph lain, dan terhadap daerah-daerah seperti Medan Sibolga dan sebagainya satu solar shadowgraph yang lain lagi.

Daerah-daerah yang lebih utara letaknya seperti Aceh dan sebagainya harus menggunakan solar shadowgraph yang berlainan pula. Pada tanggal 21 Juni posisi matahari berada paling utara, sedang pada tanggal 21 Desember posisi matahari berada paling Selatan, sehingga pada sesuatu gevel bayang luifel misalnya bergerak sepanjang tahun.

Pada masa sekarang belum saya ketemui seorang arsitek atau Biro arsitek yang menggunakan solar shadowgraph bagi perencanaan gedung, mungkin karena umumnya gedung-gedung dilengkapi dengan instalasi A.C.

Karena prinsip-prinsip di atas, maka bagi saya pribadi arsitektur tropis banyak merupakan permainan antara terang dan gelap yang berimbang dan harmonis. Lebih banyak yang gelap (tidak dapat disinari matahari) lebih tropislah arsitektur gedung itu kelihatannya.

 Arsitektur yang Baik

Bagi saya arsitektur yang baik adalah arsitektur yang sesederhana mungkin, seringkas mungkin dan sejelas mungkin.

Semua hal-hal yang tidak mutlak dibutuhkan oleh suatu gedung untuk berfungsi sebaiknya jangan diadakan, demi kesederhanaan dan kejelasan.

Ada kalanya, suatu perhiasan tidak dapat dihindarkan, akan tetapi dalam hal ini perhiasan itu sebaiknya menggarisbawahi fungsi gedung yang bersangkutan. Penggunaan terlalu banyak elemen pada sesuatu gedung akhirnya tidak menguntungkan, karena mengurangi kejelasan gedung itu. Pada dewasa ini seolah-olah terjadi perlombaan untuk menciptakan bentuk-bentuk yang serba aneh, bentuk-bentuk yang dicari-cari, dengan maksud agar lain dari yang lain. Rupanya sudah dilupakan, bahwa semua gedung-gedung di dunia ini, yang dikagumi oleh banyak orang hingga dewasa ini, pada dasarnya berbentuk sederhana.

Banyak gedung-gedung yang berbentuk istimewa dan menarik pada waktu pembangunannya lekas luntur kekaguman orang kepadanya, malah seolah-olah tidak diingat orang lagi pada akhirnya.

Penutup Atap

Kembali sebentar kepada esensi dari atap, tiang (kolom), dan fondasi yang saya singgung pada permulaan tulisan ini. Atap sangat esensial. Jadi atap itu mutlak bebas dari segala kebocoran, juga harus mutlak bebas dari bentuk yang berliku-liku yang mau tidak mau mengundang kebocoran. Karena atap itu harus melindungi kita terhadap hujan, maka pembuatan atap yang bocor dan sulit diperbaiki kebocorannya adalah suatu kegagalan yang merupakan kehinaan. Jadi pilihan bentuk dan konstruksi atap, maupun pilihan bahannya adalah sangat vital.

Bila dilaksanakan secara betul 100%, maka atap beton termasuk yang terbaik karena tahan lama, paling lama. Tetapi beton pada hakikatnya dapat menjadi berpori, walaupun pada saat dibuatnya 100% anti bocor. Keberporian itu disebabkan oleh iklim kita yang sangat kejam terhadap bahan bangunan, termasuk beton. Karena itu atap beton harus dilindungi dengan lapisan isolasi yang dapat terdiri dari pasangan lapisan batu bata, dan kemudian dilapisi (ditutup) dengan bahan keras, seperti ubin keramik atau ubin-ubin lain yang tahan terhadap hujan dan matahari. Diakui bahwa cara pengawetan beton yang demikian adalah mahal, tetapi demikianlah konsekuensi penggunaan beton sebagai atap.

Terdapat contoh-contoh gedung besar yang menggunakan atap beton yang pencoran betonnya dahulu (waktu sebelum perang) saya saksikan kualitas pekerjaannya sangat baik. Sekarang atap-atap gedung itu sudah bocor sejak beberapa tahun yang lalu. Dan terpaksa dibuat atap seng di atas atap beton itu. (Gedung PELNI KPM dahulu) atau dilapisi dengan daun tembaga (Exim Bank dahulu Factory) atap beton gedung HANKAM (dahulu Rechts Hooge School) pun sudah ditambal sulam.

Jadi kalau mau pakai atap beton harus konsekuen dan melengkapinya dengan lapisan isolasi serta lapisan sisik (penutup).

Atap dari genteng juga baik sekali, bila kualitas genteng itu baik dibuat dari tanah liat tanpa campur semen. Genteng kualitas tinggi tahan ratusan tahun. Di daerah peninggalan Majapahit sebelah Selatan Surabaya masih terlihat atap dari genteng kuno yang masih dalam keadaan baik. Pun batu batanya demikian baiknya (kenapa sekarang sudah kurang baik). Pada waktu sebelum perang telah diproduksi genteng yang berkualitas tinggi, antara lain genteng Heyne di Bandung. Alangkah disayangkan, bahwa dewasa ini, sesudah 37 tahun merdeka, belum ada genteng dan batu bata buatan kita yang meyakinkan kualitasnya.

Ada genteng Moniere yang rupanya apik dan indah. Tetapi karena dalam bahannya terdapat pula semen, maka menurut hemat saya genteng Moniere ini masih dapat dianggap eksperimental. Adanya unsur semen akan menyebabkan keretakan-keretakan halus pada genteng Moniere itu. Sayang sekali investasi Pabrik Genteng Moniere itu tidak digunakan untuk pembangunan pabrik genteng tanah liat. Sebab genteng tanah liat berkualitas tinggi akan tahan beberapa generasi.

Sangat penting, bahkan imperatif bagi Indonesia membangun rumah-rumah atau gedung-gedung yang tahan sangat lama agar biaya pemeliharaan dapat ditekan sampai seminimal mungkin. Dengan demikian jumlah seluruh rumah yang dibangun dalam satu tahun sungguh-sungguh merupakan tambahan jumlah perumahan, dan bukan untuk mengganti rumah-rumah yang sudah rusak, tetapi yang dibangun dalam era kemerdekaan Indonesia.

Kerusakan rumah-rumah demikian dalam tempo yang relatif singkat, adalah akibat pemakaian konstruksi dan bahan-bahan yang pada hakikatnya tidak tahan lama dengan mengutamakan biaya yang lebih kecil dan bukan mengutamakan keawetan dan ketahanan dalam waktu yang lebih lama. Dalam waktu jangka panjang, ternyata pilihan keawetan yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih besar lebih ekonomis dari bahan dan konstruksi yang lebih murah dengan biaya yang lebih kecil.

Kembali kepada material penutup atap. Sekarang sudah mulai banyak digunakan tegola untuk vila-vila yang mewah. Menurut observasi saya, tegola masih dalam taraf eksperimental karena tegola itu kelihatannya adalah kertas aspal yang super, karena dipertebal dan diperkakukan serta diberi warna. Apakah tegola itu akan tahan cukup lama dan apakah seimbang antara ketahanannya dan harganya, hanya waktu yang akan membuktikan. Saya pribadi berkeberatan memakai material yang masih dalam taraf eksperimental, apalagi untuk penutup atap. Sebaiknya tiap-tiap material baru yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia diuji dahulu barang 10-15 tahun dan selama waktu pengujian itu diamati ketat perangai materialitu di negara kita.
Begitu pun pengimporan sejenis genteng baru dari Australia yang menurut saya adalah seng yang diberikan bentuk genteng. Kita semua tahu, bahwa seng di Indonesia tidak tahan lama dan lekas keropos.

Sirap pada waktu sebelum perang diharuskan minimum tebalnya 6-7 mm. Sebelum sirap dikapalkan di salah satu labuan Kalimantan, Jawatan Kehutanan harus meneliti dahulu kualitas sirap itu. Bila kurang dari 6 mm tebalnya tidak diberikan izin mengirimnya ke daerah lain seperti ke Jawa misalnya. Dengan demikian terjamin kualitas minimal dari sirap itu. Sirap setebal 6-7 mm dapat bertahan sampai 80 tahun. Sirap yang terdapat di pasaran sekarang rata-rata 2 mm tebalnya dan sirap semacam ini hanya maksimal tahan ± 10 tahun, padahal harganya lebih mahal dari genteng biasa yang seburuk-buruknya dapat bertahan 30-40 tahun.

Maka menurut hemat saya, sudah terlalu lama ditunggu, sebelum pemakaian sirap kualitas rendah dilarang secara total, sehingga pembuat sirap di Kalimantan menjadi insyaf. Atap seng (Gegolfd plaatijzer) tidak baik untuk perkantoran atau perumahan. Lekas keropos, berisik waktu hujan dan panas waktu kemarau. Atap aluminium gelombang lebih baik daripada seng, lebih tahan lama tetapi berisik dan panas pula. Atap asbes-eternit gelombang tak dapat direkomendasikan karena dalam waktu singkat akan rengat-rengat.
Saya sengaja membicarakan soal atap ini panjang lebar, karena menurut hemat saya, terhadap kualitas penutup atap maupun kontruksinya tidak boleh berkompromi sama sekali, supaya tidak bocor dalam waktu yang lama.

Lantai dan Bahan Bangunan Lain

Demikian pun terbatas kualitas lantai yang paling sedikit harus dapat dicuci dan dipel setiap hari tanpa merusak lantai itu.

Lantai yang paling murah adalah beton, tetapi kurang menyenangkan pandangannya. Ubin semen kepala basah rasanya cukup baik, akan tetapi untuk perumahan rakyat kecil sudah memberatkan biayanya. Pada waktu sebelum perang ada ubin-ubin yang dibuat dari tanah liat (yang dicetak dahulu dan kemudian dibakar). Ukurannya 30 cm x 30 cm, dengan warna terakota yang lembut dan menimbulkan suasana enak dalam ruangan. Dahulu biasa disebut plavuizen. Sekarang tidak ada usaha yang membuat plavuizen. Padahal ubin plavuis sangat mungkin dibuat di ratusan desa. Sangat disayangkan, bahwa industri bahan bangunan di negeri kita jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kemajuan di bidang-bidang lain.

Di Jepang dan Tiongkok terdapat bambu yang awet dan digunakan untuk membuat mebel, rantang kue kering, dan sebagainya. Di negeri kita tidak ada usaha untuk membibitkan dan mengembangkan bambu awet atau mengawetkan jenis bambu yang sekarang kita miliki.

Terhadap puluhan jenis kayu pun belum nampak usaha pengawetan secara modern dan menggunakan ilmu pengetahuan, agar kayu itu dapat digunakan dalam bangunan permanen.

Pun sudah tiba waktunya untuk mengusahakan timbulnya pabrik-pabrik genteng tanah liat yang baik dan modern, pabrik-pabrik batu bata yang kualitasnya cukup tinggi, sehingga tidak membutuhkan lagi lapisan plester.

Untuk kepentingan gedung-gedung pemerintah dan swasta bermodal sudah tiba waktunya mengusahakan berdirinya pabrik-pabrik ubin keramik dengan atau tanpa lapisan glazuur.

Bentuk-bentuk Arsitektur

Sekarang tibalah saatnya untuk membicarakan berbagai bentuk arsitektur yang bermunculan akhir-akhir ini.
Menurut hemat saya tidak perlu dicari-cari bentuk arsitektur Indonesia sebab manusia Indonesia itu sendiri masih dalam proses pembentukan. Yang jelas, arsitektur Indonesia itu harus modern dan harus bersifat tropis.      

Kenapa harus modern? Karena kita hidup dalam zaman modern dan karena tiap-tiap zaman berhak mengekspresikan dirinya dalam kebudayaan zamannya.

Tidak perlu meniru-niru bentuk khas Toraja, Minangkabau, Bali, Batak, dan sebagainya untuk mengusahakan terciptanya arsitektur Indonesia. Kita jangan ambil bentuknya, tetapi jiwanya yang banyak menunjukkan ciri-ciri ketropisan. Hal-hal yang memperhitungkan lebatnya hujan tropis, panasnya matahari, dan tentunya memperhitungkan adat-istiadat yang pada hakikatnya tidaklah berupa sesuatu yang statis, melainkan berkembang dari periode ke periode.

Bila kita memasak dengan gas atau listrik tentu lain bentuk dapurnya dibandingkan dengan dapur yang masih menggunakan kayu bakar atau arang atau minyak tanah. Tetapi bagaimana pun berbeda-bedanya dapur itu semua keluarga masih suka membakar sate. Di mana sebaiknya sate itu dibakar? Sebaiknya dibuat dapur terbuka tetapi berada di bagian belakang pekarangan, supaya asap tidak mengganggu dalam rumah itu sendiri.

Mengenai bentuk arsitektur yang bermunculan akhir-akhir ini saya sebutkan beberapa pembuatan atap-atap joglo untuk berbagai gedung besar dan kecil yang jelas kelihatannya dipaksakan.

Timbulnya bentuk atap joglo itu disebabkan oleh kebutuhan adanya pendopo yang seluas mungkin. Pada waktu itu konstruksi atap kayu sangat terbatas kemungkinannya. Maka dibuatlah atap bagian tengah berbentuk piramida yang ditunjang oleh empat kolom kayu besar. Lalu kepada atap tengah itu disambunglah atap yang dikurangi kemiringannya, sehingga terjadilah tekukan atap. Kemudian di bagian pinggir pendopo didirikan empat rentetan tiang dan dihubungi dan ditutup dengan sebuah mur plat atau gording.

Konstruksi atap selanjutnya adalah kaso-kaso yang berupa balok besar, agar dapat dibentangi jarak yang sebesar mungkin, tanpa digunakan kuda-kuda, jelas bahwa bagian bawah atap joglo itu menjadi bagian mutlak daripada interiornya. ltulah sebabnya tidak jarang kaso-kaso yang berupa balok dihiasi dengan ukiran-ukiran, demikian pun balok-balok penghubung kolom-kolom dan kolom-kolom itu sendiri.
Bagaimana dengan atap-atap joglo yang dibuat di atas gedung-gedung modern? Konstruksi atap tidak kelihatan dan untuk mendukung tekukan atap dibuatlah konstruksi kuda-kuda yang dibuat-buat dan membutuhkan kayu yang sangat banyak.

Jadi bentuknya ditiru tetapi jiwanya dibuang. Ada juga atap joglo modern yang di atasnya dibuat bagian horizontal yang menimbulkan berbagai kesulitan (penyaluran air, hujan dan pemeliharaan terus menerus), agar atap joglo itu dari muka dan samping kelihatannya seolah-olah mempunyai nok, padahal sama sekali tidak ada nok. Dalam arsitektur yang murni kebohongan semacam ini tidak dapat ditolerir.

Beberapa gedung modern diberikan gevel yang berakhir di atas tanpa ada tanda bahwa gedung itu mempunyai atap. Padahal tembok gevel bagian atas setinggi, kurang lebih satu meter menyembunyikan atap eternit atau seng. Kebohongan semacam ini pun tidak dapat ditolerir.

Banyak gedung dibuat rentetan kolom bebas. Menurut hemat saya serentetan kolom bebas memberikan sugesti, bahwa kolom-kolom itu mengelilingi ruangan terbuka atau berdiri di muka ruangan yang terbuka. Jarak antara barisan kolom dengan pembatasan ruangan yang dihadapinya harus cukup besar, harus seimbang dengan ukuran-ukuran kolom dan jarak antar kolom. Jadi kolom-kolom bebas itu berdiri di muka voorgalery besar (seperti lstana Merdeka, lstana Negara Jakarta, lstana Bogor). Atau kolom-kolom itu mengelilingi ruangan terbuka seperti pada kuil Parthenon di Yunani atau pada sebuah pendopo. Pun kolom-kolom dalam colonnade melingkar seolah-olah merangkul plaza di muka gereja St. Pieter di Roma adalah suatu contoh yang baik. Tidak ada dinding dalam colonnade tersebut di atas, tetapi colonnade-nya terdiri dari empat barisan kolom.

Jadi bila ada rentetan kolom-kolom telanjang (bebas) dan dekat di belakangnya ada dinding tembok atau kaca, maka rusaklah karakteristik dari kolom-kolom itu, apalagi bila kolom-kolom itu seolah-olah ditempel kepada tembok gevel di bawah dakoverstek biasa, maka perkosaan terhadap karakteristik kolom-kolom itu mencapai puncaknya.

Banyak gedung dewasa ini menggunakan boog-boog pada gevel yang ditampung oleh serentetan kolom. Lahirnya boog-boog dalam arsitektur adalah sebagai konstruksi untuk memikul masa tembok di atasnya, yakni sebagai pengganti latei atau balok yang pada waktu itu jarang dibuat karena belum ada konstruksi beton tulang. Jadi kalau di atas boog-boog itu tidak ada massa tembok yang harus dipikulnya, maka hilanglah karakteristik boog-boog itu sebagai konstruksi pemikul, demikian pun keindahannya. Apalagi bila boog-boog itu dibuat tepat di bawah lisplang dekoverstek, maka hilanglah makna boog-boog itu sama sekali. Maka penggunaan rentetan kolom-kolom dengan atau tanpa boog-boog sebagai hiasan belaka, menurut hemat saya adalah absurd.

Pada dewasa ini sudah berupa mode memberi atap beton lisplang yang lebar, bahkan sangat lebar. Apabila daksverstek yangmenggunakan lisplang yang lebar itu kecil, maka lisplang itu kelihatannya terlalu berat dan masif, apalagi bila gedung tidak begitu panjang.

Bila dakoverstek-nya besar, dan gedungnya panjang sekali, maka lisplang yang lebar itu tidak berat terasanya, misalnya seperti stasiun kereta api di Roma. Gedungnya sangat panjang (kurang lebih 120 meter) dan luifelnya selebar ± 20 meter. Dalam hal ini penggunaan lisplank yang lebar sangat tepat dan menambah keindahan luifel itu.

Semakin berani orang dewasa ini membuat gedung terdiri dari 2 (dua) bagian atau lebih yang masing-masing berlainan bentuknya, sehingga keutuhan gedung terpecah-pecah. Di sini kelihatan, bahwa bagian-bagian yang berlainan bentuknya itu seolah-olah ingin mendominasi satu sama lain.

Sudah pula menjadi kebiasaan dewasa ini untuk membuat dinding gedung tinggi rata dari bawah ke atas, tanpa bagian-bagian yang menonjol dengan menggunakan kaca diselingi bahan lain yang juga rata, sehingga tercipta dinding tinggi yang praktis licin, sebagaimana umumnya terdapat di luar negeri.

Bila gedung-gedung demikian diamati pada waktu hujan, maka kita akan lihat, bahwa dinding tinggi yang rata-licin itu berfungsi sebagai atap pula karena di Indonesia jarang hujan jatuh secara vertikal terus menerus.
Dengan demikian jaminan bahwa sambungan jendela-jendela atau dinding-dinding kaca kepada rangka pengikatnya tetap anti bocor menjadi luar biasa pentingnya. Bilamana pada sambungan-sambungan tersebut terdapat kebocoran, maka lantai yang bersangkutan akan mengalami kebanjiran kecil.

Pendingin Ruangan

Di atas saya sebutkan beberapa contoh yang menurut hemat saya kurang baik, dan sebaiknya jangan diulangi lagi untuk selanjutnya. Sekarang ada baiknya dibicarakan masalah penggunaan instalasi AC.

Menurut hemat saya di negeri kita suhu udara rata-rata tidak ekstrim tinggi, tidak setinggi suhu di kota-kota New Delhi, Cairo, Adis Ababa dst, pada waktu musim panas. Di kota-kota tersebut tidak jarang suhu udara mencapai 420 - 430 C pada musim panas, jauh lebih tinggi daripada suhu badan manusia.

Di kota-kota demikian orang-orang yang tidak biasa mengalaminya tidak tahan terhadap suhu yang demikian tingginya.

Di Indonesia, terutama kota-kota di pinggir laut memang terasa panas, akan tetapi tidak demikian panasnya sehingga kita tidak dapat bekerja. Sering saya lihat orang-orang asing (dari Eropa dan Amerika) berjalan-jalan di jalan Thamrin pada siang hari, dengan memakai jas dan dasi. Nenek moyang kita, bekerja di ladang seharian tanpa mengeluh terhadap panas matahari. Tetapi mereka insyaf, bahwa prestasi berkurang kalau kepanasan, maka mereka bekerja sebelum matahari terbit, sehingga mereka dapat bekerja keras rata-rata sampai jam 9.00 pagi. Sesudah itu tenaga mulai berkurang dan pada waktu antara jam 11.00 dan jam 12.00 mereka pada umumnya beristirahat di bawah perlindungan sebuah saung yang sengaja dibuat untuk keperluan itu. Sekaligus mereka makan siang, sambil melepaskan lelah.

Melihat praktek nenek moyang kita itu, alangkah baiknya bila waktu bekerja bagi instansi-instansi pemerintah mulai pada jam 7.00 pagi dan berakhir pada jam 14.00. Jadi menurut hemat saya AC tidak mutlak diperlukan untuk gedung-gedung di Indonesia.

Untuk perpustakaan perlu untuk melindungi buku yang berharga. Juga perlu untuk melindungi instrumen-instrumen peka dan sophisticated.

Sering dikemukakan alasan memakai AC ialah penghematan tinggi gedung yang pada hakikatnya berupa penghematan ± 1 1/2 meter kolom dan 1 1/2 meter ruang ventilasi yang tidak membutuhkan banyak material. Biaya tambahan ini hanya satu kali dibandingkan dengan biaya pembelian instalasi AC dan pemeliharaan serta eksploitasi terus menerus.

Kesimpulan
Sesudah mengetahui pendirian saya yang diuraikan di atas, maka mudah ditarik kesimpulan, bahwa rumah-rumah yang ideal bagi saya:
  • ialah rumah-rumah yang dikelilingi emper peneduhdan mempunyai plafon setinggi 4 meter minimal.
  • atau kalau itu tidak dapat dibiayai, rumah-rumah yang mempunyai dakoverstek besar, sehingga tidak ada bagian lantai yang terkena oleh sinar matahari secara langsung dan mempunyai voorgalery yang terbatas ukurannya.
  • atau kalau masih telalu besar biayanya: rumah-rumah yang dakoverstek-nya sekedar cukuptetapi ada suatu voorgalery yang terbatasukurannya.
  • selalu mempunyai bentuk atap yang ringkas dan penutup atapnya terdiri dari material yang tahan lama.
  • selalu tidak bocor atapnya, kecuali kalau ada genteng yang pecah dan mudah diganti dengan yang baru.

Catatan redaksi:
Tulisan "Idealisme Arsitektur dan Kenyataannya di Indonesia" oleh F. Silaban disalin dari buku Menuju Arsitektur Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1996) yang disunting oleh Eko Budiharjo. Tulisan ini telah disunting kembali oleh redaksi Konteks untuk penyesuaian bahasa.

[Sumber : http://www.konteks.org/]

No comments:

Post a Comment

Dapatkan soft-disain rumah tempat tinggal di halaman [KLIK DISINI]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...