Awal bulan ini, arsitek Michael Green menyampaikan kuliah umum dengan topik menarik. Green mencoba "mengawinkan" kultur pembangunan gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar dengan sumber daya yang sebenarnya terbarukan tetapi kerap disepelekan, yaitu kayu. Ia melontarkan pertanyaan sederhana, "Mengapa ketinggian bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu hanya beberapa lantai, sementara kayu di alam bebas tinggi luar biasa?"
Menurut Green, kayu berasal dari pepohonan yang tumbuh karena tenaga matahari. Selama usianya, pepohonan memberikan oksigen bagi makhluk hidup di sekitarnya, sembari menyimpan karbon dioksida. Karbon dioksida tersebut dibebaskan ketika pohon tumbang dan mengalami dekomposisi. Dengan membuat bangunan dari kayu, kayu tidak perlu terurai dan mengeluarkan karbon dioksida.
Membangun gedung dengan kayu, menurut Green, dapat mengurangi karbon dioksida. Apalagi, ternyata satu meter kubik kayu menyimpan satu ton karbon dioksida. Di samping kenyataan ini, ada alasan lain di balik pemikirannya. Green mengatakan, selama satu abad belakangan ini, gedung-gedung pencakar langit telah menggunakan baja dan beton. Padahal, emisi gas rumah kaca dari kedua material ini begitu besar.
Ia mencatat, tiga persen gas rumah kaca dihasilkan dari proses pembuatan baja, sementara lima persen gas rumah kaca dihasilkan dari proses pembuatan beton. Ia menekankan, banyak orang menyalahkan kendaraan bermotor sebagai penghasil polusi terbesar, padahal sebenarnya peringkat pertama penghasil polusi adalah bangunan. Di Amerika Serikat, emisi karbon dioksida dihasilkan 47 persen dari bangunan, 33 persen dari transportasi, dan 19 persen dari industri.
Menariknya, dalam kuliah umum tersebut, Green sempat menyebutkan mengenai tingginya jumlah kebutuhan hunian bagi penduduk dunia. Tidak heran, jumlah terbanyak ditempati oleh pembangunan untuk hunian maupun kebutuhan lain. Kebutuhan dunia akan tempat tinggal kini berhadapan langsung dengan perubahan iklim.
Jika kayu terbukti ramah lingkungan, lantas apa yang membuat publik enggan memanfaatkannya sebagai bahan utama untuk gedung-gedung pencakar langit?
Green menggarisbawahi "kayu" yang ia maksud. Ia tidak dengan naif ingin membangun gedung dari kayu-kayu gelondongan. Ia menjelaskan, teknologi pengolahan kayu dari budidaya kayu cepat (rapid growth trees) menjadi panel-panel produksi massal (mass timber panel).
Kedua, masalah kebakaran. Menurut Green, panel kayu memiliki partikel yang sangat rekat dan tidak menjalarkan api dengan mudah. Sama halnya dengan log kayu yang sulit dibakar. Ketika terbakar pun, api menjalar perlahan dan arah jalar pun tertebak. Skema pencegahan api dapat diterapkan dengan efektif.
Ketiga, masalah deforestasi. Green memperkenalkan sistem penebangan kayu yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ia mengatakan, di Amerika Utara, setiap 13 menit kayu tumbuh bagi gedung 20 lantai. Ini cara baru pertama membuat gedung pencakar langit dalam 100 tahun belakangan atau lebih.
"Saya ingin melihat momen Eiffel Tower. Merancang bangunan (kayu) merupakan bagian termudah. Mengubah skala imajinasi, hanya alam yang mampu melakukannya," ujar Green.
Selain menjadi pembicara dalam TED, Michael Green merupakan anggota Royal Architectural Institute of Canada. Dia juga menjabat sebagai principal pada firma arsitektur Michael Green Architecture.
Nama Michael Green tidak asing bagi telinga publik lantaran telah menerima berbagai penghargaan dari bangunan, instalasi seni publik, desain interior, desain lanskap, serta rancangan lingkungan kota. Reputasinya tersebut telah menggiringnya menggawangi berbagai proyek internasional, seperti bandara, gedung pencakar langit, Vancouver’s Ronald McDonald House, Vancouver City Hall, serta berbagai proyek lainnya.
[ Sumber : http://properti.kompas.com ]
No comments:
Post a Comment