KEARIFAN LOKAL, PEMUKIMAN, DAN BENCANA ALAM SUMATERA BARAT
Oleh : Nasbary Couto
Orang Minang punya cara unik dalam menentukan penggunaan tanah. Sejak dulu, ada pepatah adat yang selalu diingat:
“Nan data kaparumahan, nan lereng tanami tebu, nan bancah ditanami sawah, nan munggu kapakuburan.”
Sederhananya begini ; kalau tanahnya datar, cocok buat perumahan atau rumah gadang. Kalau miring di lereng bukit, jangan nekat bangun rumah permanen, lebih pas buat menanam bambu, tebu, kopi, atau kulit manis dan tanaman lainnya. Kalau tanahnya bancah atau rawa, sangat cocok untuk sawah atau kolam ikan. Dan kalau ada tanah yang lebih tinggi seperti bukit kecil (munggu), biasanya dijadikan kuburan.
Aturan ini tidak tertulis di undang-undang, tapi hidup dalam petuah adat, percakapan orang tua, sampai pantun. Di beberapa nagari, istilahnya mungkin beda-beda, tapi maknanya sama: gunakan tanah sesuai dengan karakter alamnya. Pepatah ini sebenarnya adalah cara leluhur menjaga keseimbangan hidup dengan lingkungan.
Kalau dilihat dari kondisi geografis Sumatera Barat, pepatah tadi memang masuk akal. Hampir seluruh daerahnya berupa perbukitan Bukit Barisan yang rawan longsor dan banjir. Tanah datar tidak banyak jumlahnya, sehingga ruang hidup masyarakat sangat terbatas. Sawah juga tidak seluas yang terlihat ( dari 42.119,54 km2 luas sumbar, hanya 1.999,88 km² jadi sawah) atau 0,48 %. Jadi sawah hanya sebagian kecil dibanding total luas provinsi. Maka wajar kalau masyarakat Minang sangat memperhatikan bagaimana tanah digunakan.
Kelangkaan tanah inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya tradisi merantau. Karena tanah pusaka biasanya diwariskan kepada perempuan, banyak laki-laki Minang yang kemudian pergi ke luar daerah untuk mencari penghidupan baru. Tapi merantau bukan hanya soal ekonomi, merantau sudah menjadi bagian dari jati diri orang Minang.
Namun cerita alam Sumatera Barat tidak hanya sampai di situ. Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan tempat tinggal, mulai banyak lahan lereng yang diubah menjadi permukiman atau ladang. Sayangnya, perubahan tata guna lahan seperti ini ikut memperbesar risiko bencana. Ketika hutan di lereng berubah jadi permukiman atau lahan gundul, tanah makin mudah longsor saat hujan lebat. Tidak heran kalau banjir bandang dan longsor menjadi ancaman yang berulang di daerah yang topografinya berbukit. Dan hasil penelitian menemukan bahwa KONVERSI HUTAN ATAU VEGETASI DI LERENG MENJADI PERMUKIMAN, LADANG, ATAU AREA tanpa penutup tanah memperbesar kerentanan terhadap longsor. Rekomendasi penelitian menekankan pentingnya MITIGASI DAN PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS GEOLOGI DAN VEGETASI untuk mencegah bencana. Kasus banjir dan banjir lahar di Sumbar tahun 2024 menjadi bukti nyata bahwa perubahan tata guna lahan, curah hujan tinggi, dan topografi pegunungan BERKONTRIBUSI PADA BENCANA BESAR.
Karena itu, banyak pakar lingkungan mengingatkan bahwa pepatah adat lama tentang penggunaan tanah bukan sekadar tradisi — tetapi kearifan yang sangat relevan untuk melindungi masyarakat Minang sampai hari ini. Mengelola tanah sesuai karakter alam bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjaga keselamatan generasi mendatang.
---oOo---
Video :
Harrison Ford Marah Besar Mempertanyakan Kepada Kementerian Kehutanan H. Zulkifli Hasan "Mengapa Selama 15 Tahun Terakhir 80% Hutan Telah Di Exploitasi Secara Komersial"
Mengapa ini Terjadi? Bisnis kah???
Perusakan hutan ini bukan hanya persoalan Indonesia. Ini persoalan dunia. Ketika satu hutan hilang, seluruh planet ikut membayar harganya.
Sumber video ; https://www.facebook.com/
Sumber : https://www.facebook.com/share/
No comments:
Post a Comment